Recent Blog post



    Apa yang akan kau lakukan untuk membuat hidupmu berarti? Apa yang akan kau lakukan ketika kau tak mampu membuat sebuah arti di dalam hidupmu yang hanya sekali? Apakah kau hanya akan berdiam diri dan membiarkannya tak berarti? Atau melakukan segala cara agar menjadikannya berarti?
   
   Pertanyaan itulah yang membuatku terus hidup, yang menjadi penopang hidup dan menjadi pertanyaan di dalam hidupku. Aku, yang seorang gadis bisu, tak dapat mengucapkan jawaban-jawaban dari pertanyaan itu. Bibirku bergerak tak bersuara, hanya kata-kata hati yang dapat terdengar di dalam diam. Tak ada telinga yang dapat mendengarku, Tak hanya bisu, aku juga mengalami lumpuh pada kaki. Terlahir bisu dan lumpuh, membuatku merasa bagai tak berguna dan berarti. Apa yang dapat kulakukan dalam keadaan cacat seperti ini? Hanya dapat menyusahkan orang lain, itulah yang pasti.
   
    Iri melihat orang lain bisa melakukan apapun, bermain dan belajar, itulah perasaan pertama yang kurasakan. Jika aku mampu, mungkin aku akan melakukan segala cara agar mewujudkan keinginanku. Tetapi aku hanya bisa berdiam diri. Di dalam kamar kecil ini sendiri sambil melihat ke arah luar jendela. Sebuah lapangan kecil yang terletak tak jauh dari rumahku menjadikan hiburan tersendiri bagiku. Walaupun aku tak dapat melakukan apapun, hanya bisa melihat anak-anak bermain di lapangan setiap harinya kadang kala membuat hatiku ikut gembira. Melihat tawa mereka yang sedang bermain membuat hatiku tentram.Pemandangan tak berubah inilah yang satu-satunya membuatku tersenyum bahagia melihatnya.
     
     Tapi pada suatu hari, di hari yang biasa, aku melihat sesuatu yang pertama kalinya bagiku—sesuatu yang membuat hariku merasa berbeda dari biasanya. aku melihat seorang perempuan yang sepertinya seumuran denganku, selalu duduk di bangku di tepi lapangan sambil memegang sebuah alat musik gesek, biola. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang yang melantunkan musik lembut yang membuat hatiku penasaran dan terpana. Gadis cantik yang memiliki rambut hitam panjang yang diikat ekor kuda, dan sebuah biola yang selalu ia bawa dan dimainkan. Setiap petikan dari jari-jemarinya yang lembut menghasilkan melodi-melodi indah yang keluar dari biola kayu tuanya.
    
   Setiap hari ia mainkan biola itu ketika hari menjelang siang. Tak peduli panas yang menyengat, ataupun hari sejuk dan berawan.  Pemandangan yang biasanya hanya melihat anak-anak yang bermain bola, kini bertambah dengan lantunan melodi yang indah. Setiap hari pula aku terus mendengarkan permainan biolanya. Sungguh indah, dengan nada-nada yang lembut. Dengan baju indah dan rambut panjang terikat berkibar-kibar, membuatnya terlihat semakin menarik. Aku ingin sekali bisa berteman dengan gadis yang selalu bermain biola dari balik jendelaku itu, do’aku dalam hati.
     
     Dan sepertinya, tuhan mengabulkan permohonanku...
     
     Suatu ketika, seperti biasa anak-anak bermain bola bisbol di lapangan. Permainan itu sungguh menyenangkan dengan sorakan anak-anak lain yang ikut menyemangati. Aku yang menonton pertandingan itu dari jauh, ikut berteriak di dalam hati. Sambil melihat-lihat ke arah lapangan, aku belum melihat kehadiran gadis itu. Tapi tak lama ketika menunggunya, ia hadir juga. Seperti biasa, membawa biola kayu nya dan duduk di bangku di tepi lapangan. Anak-anak lain yang sudah terbiasa dengan kehadiran gadis itu ada yang mengacuhkannya, ada yang sesekali melirik permainan biolanya. Siapapun yang mendengar suara biola dari gadis itu pasti tertarik. Begitulah yang kupikirkan ketika melihat tangannya yang cekatan menggesek senar-senar itu dengan ujung jarinya.
     
    Keasyikan mendengarkan biolanya, aku sampai tak sadar dengan ke datangan sebuah bola bisbol yang terlempar hingga menembus kaca jendelaku. Kacanya pecah berkeping-keping, mengenai tanganku ketika aku mencoba melindungi diri. Dan tanpa sadar pula, anak perempuan itu datang menuju rumahku, berjalan ke halaman samping untuk mencari bola yang terlempar jauh. Saat ia berdiri tepat di depan jendelaku, aku menyerahkan bola bisbol itu padanya. Ia terlihat agak terkejut di saat ia melihatku yang tengah terduduk di tempat tidur, memberikan bola itu padanya dengan tangan yang bersimbah darah.
    
   “Kau terluka?”
   
    Aku hanya memberi senyuman kecil, ia terlihat mengkhawatirkanku.
    
    “Hei, kalau main bola liat-liat dulu ke arah mana kau melempar!” sambil melempar bola itu kembali kepada anak-anak di lapangan, ucapannya terlihat marah. “Kau baik-baik saja? Darahnya mengenai bajumu.”
     
    Ku gelengkan kepalaku, memberi tanda ‘Aku baik-baik saja’ kepadanya lewat isyarat tangan. Melihat tingkah laku ku, ia menyadari bahwa aku tak bisa berbicara. Sejenak, ia berpikir panjang untuk bisa berkomunikasi denganku.
   
   “bolehkah aku masuk?” tanya gadis itu, aku mengangguk dan melambaikan tanganku, mengajaknya untuk datang ke kamarku. Setelah ia masuk kerumah, ia datang sambil membawa biolanya.
   
   “Kau baik-baik saja?” ia mengulangi pertanyaan yang tadi, aku kembali mengangguk. “Kau punya perban? Biar ku obati kau.”
    
   Ku tunjuk laci meja di sampingku, lalu diambilnya segulung perban putih dan obat tetes luka. Sambil mengobati tanganku, aku bertanya sesuatu. “Namamu siapa?
   Tak mengerti apa yang ku isyaratkan, ia memberikan handphone nya dan membuka aplikasi catatan. 

  “Tulislah disini.” Mengikuti perintahnya, aku menuliskan kembali pertanyaan tadi.
  
   “Namaku? Violetta. Namamu?”
   
   “Namaku Savanna.”
   
   “Savanna? Nama yang bagus. Tapi aku belum pernah melihatmu sebelumnya, kau tinggal di sini?”
   Aku kembali mengetikkan kata-kata di hapenya, sejenak pembicaraan kami menjadi terdengar sedikit akrab. Dan aku baru tahu, ia memiliki nada bicara yang dingin, tetapi baik.
  
   “iya, tapi aku selalu melihatmu di lapangan itu. Aku suka permainan biolamu.”
  
   “kau selalu mendengarkanku? Ah, terima kasih banyak.”
   
   Aku tersenyum lembut padanya. Kami terus mengobrol banyak hal dan menjadi sangat akrab. Ia menceritakan banyak hal dengan singkat dan jelas, benar-benar orang yang dingin dan menarik. Sambil berbicara lewat komunikasi masing-masing, aku merasa sangat bahagia. Sepertinya tuhan mendengarkan permohonanku, aku ingin mengenal gadis ini lebih jauh lagi.
   
   “kenapa kau suka bermain biola?”
   
   Sejenak ia terdiam, memandang biolanya. “aku... suka bermainnya, karena dialah yang membuatku tenang. Kehidupanku yang rumit dan sulit membuatku stress dan selalu frustasi. Keluargaku adalah orang yang ‘sempurna’, menuntutku agar menjadi sukses dengan seluruh kesempurnaan yang kami miliki. Aku bersekolah, bekerja, dan melakukan banyak hal agar meraih cita-citaku dengan dorongan orang tua, keluarga, dan lingkungan. Aku dahulu berpikir bahwa menjadi sukses adalah hal yang sangat berharga, tetapi itu semua hanya menghancurkanku saja. Kakekku memberikan biola tua ini untukku agar aku bisa terlepas sejenak dari kesibukan yang ada. Biola ini... sangat berarti buatku.”
    
   Melihat senyumnya yang hangat ketika bercerita, membuatku merasakan hal yang sama. Dia dan aku, adalah orang yang memiliki kekurangan, mencoba mencari arti dengan cara yang berbeda-beda. Sulitnya hidup membuat kami ingin menyerah dan hancur. Violetta, adalah gadis sempurna, tetapi juga memiliki kekurangan didalamnya. Tak ada manusia yang sempurna, semua pasti memiliki hal yang tak bisa disempurnakan. Itulah yang kupikirkan. Aku juga menceritakan kisahku sendiri kepadanya, kisah tentangku yang terlahir cacat. Mendengar ceritaku, ia seperti merasakan hal yang sama denganku, hal yang tak ia duga.
   
    “..... kalau boleh, aku ingin memainkan biola ini untukmu, Savanna.”
    
   Mendengar itu, aku menjadi sangat senang. “benarkah? Wah, terima kasih!”
    
   Ia seperti menemukan tempatnya berada, dan aku menemukan teman untuk mengisi kebahagiaanku. Kami pun menjadi teman, lewat hal kecil tak terduga. Sejak saat itu, ia selalu datang untuk bermain biolanya di kamarku. Semakin lama kami semakin akrab. Yang berawal dari suara biola yang kudengar dari balik jendela dan kejauhan, kini terdengar sangat dekat. Aku sungguh senang. Ini pertama kalinya aku begitu senang memiliki teman pertama. Setiap hari ia datang setelah pulang sekolah atau pulang dari bekerja di perusahaan milik ayahnya, dari kesempurnaan kini menjadi biasa saja. Kadang kala ia tak bisa datang karena sibuknya pekerjaan dan kegiatan sekolah. Tapi itu tak membuatku sedih, dengan bertemannya kami berdua itu sudah membuatku cukup senang.
      
   Tapi pada suatu hari, ketika ia bermain ke kamarku dan memainkan biolanya seperti biasa, wajahnya terlihat sedih. Tidak seperti biasanya yang tenang dan menikmati permainannya, kini raut wajahnya berubah. Dengan khawatir, ku tanya padanya apa yang terjadi. “Ada apa? Apa kau baik-baik saja?”
    
   Ia meletakkan biolanya ke samping sisi tempat tidurku, memandang lantai dengan sedih. “Ayahku.... tidak memperbolehkan aku bermain biola lagi. Ia tahu bahwa aku berteman denganmu, dan ayahku bilang bahwa aku tak boleh berteman orang selain dari orang-orang ‘sempurna’ yang selalu ayah bicarakan. Tapi berteman denganmu sungguh menyenangkan, aku merasa bagai menemukan bagian dari hidupku yang lainnya. Bermain biola seperti ini sepuas hatiku rasanya bagi mimpi. Tapi... ayahku sangat marah dan membencinya.”
   
   Tak dapat melakukan apa-apa, aku hanya bisa mengusap-usap kepalanya dengan lembut. Aku memang tak sempurna, dan aku tahu keluarganya tak akan pernah memperbolehkan anaknya berteman dengan orang cacat sepertiku. Tak bisa berbicara dan berjalan karena lumpuh, sudah pasti tak ada yang mau berteman denganku. Dan seketika saja, setelah aku berpikir seperti itu, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan rumahku. Apakah itu ayahnya, firasatku berkata seperti itu. Ketika seorang lelaki dewasa keluar dari mobil dengan memakai jas hitam, Violetta terlihat kaget. Lelaki itu masuk kerumahku dengan tergesa-gesa, wajahnya terlihat marah. Ketika menemukan Violetta di dalam kamarku, ia langsung menariknya dengan wajah amarah.
    
   “kita pulang sekarang. Sudah berapa kali ayah katakan, jangan pernah berteman dengan gadis cacat itu lagi?!”
   
   “tapi yah... ia temanku. Savanna sahabatku, bukan mereka yang ayah pilihkan untuk aku!”
    
   “anak kurang ajar, ikut ayah sekarang! Dan sehabis ini, jangan pernah kau bermain keluar lagi, apa lagi bermain biolamu itu. Kau akan di kurung hingga lulus sekolah.”
    
   Dengan suara tangisan Violetta yang memecah di kamarku, aku berusaha mempertahankannya. Tapi apa daya, kaki dan suaraku tak dapat menghentikannya. Ia pergi di tarik ayahnya masuk ke dalam mobil, dan segera melaju dengan cepat tanpa pamit. Hanya sebuah biola miliknya yang tertinggal di kamarku, sebuah perpisahan pahit yang menyedihkan. Seperti halnya Violetta, aku juga merasakan hal yang sama. Sahabatku di tarik pergi, dan aku tak bisa melakukan apa-apa. Apa yang aku bisa lakukan di saat seperti ini? Tak ada. Aku hanya bisa menangis.
     
   Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu. Ayahnya memang melakukan sesuai apa yang ia katakan, gadis itu tak ku temukan lagi di hari-hari berikutnya. Suara biola yang biasanya menghiasi kamarku yang sepi, kini hilang. Teman pertamaku tak pernah ku temukan lagi. hanya biola yang selalu ia mainkan saja yang tersisa dari kenangannya. Tak ada kabar yang ku dengar darinya lagi, bahkan kabar angin sekali pun. Menunggu kehadirannya adalah satu-satunya cara aku merindukannya.
    
   Setiap hari aku melamun, permainan anak-anak di lapangan tak membuatku terkesan lagi. dari balik jendela, aku menunggu gadis yang bermain biola itu lagi. sambil berpikir, aku hanya dapat membuat orang terluka dan sedih saja. Hidupku tak berarti apa-apa, bahkan untuk orang yang memberi arti dalam hidupku. Sedih mendengarnya, dan pahit untuk diterima.
   
   “Hei, kalian tahu? Kakak yang sering main biola disana kecelakaan lho?”
   
   “Ah, benarkah?”
   
   “Iya, aku melihat beritanya di tv! Ia kecelakaan di tabrak mobil pas mau pulang, kan?”
    
   Mendengar cerita beberapa orang anak yang lewat di depan rumahku, membuatku spontan kaget. Aku segera meminta bantuan pada nenekku yang merawatku di rumah, memohon padanya untuk membantuku pergi ke rumah sakit tempat ia di rawat. Aku bertanya pada anak-anak itu tentang apa yang terjadi dan dimana ia berada sekarang, dan salah satu dari mereka menjawab bahwa ia di rawat di rumah sakit terdekat. Dengan bantuan nenek, aku langsung berangkat ke rumah sakit menaiki taksi. Dan sesampainya disana, aku melihat kedua orang tuanya yang menangis di depan pintu UGD. Lewat perantara nenek, aku bertanya apa yang terjadi.
    
  “Dadanya terhimpit bagian depan mobil saat ditabrak ketika pulang dari bekerja. Jantungnya tak berfungsi lagi, dokter bilang nyawanya terancam.”cerita salah seorang perawat. “ia butuh donor jantung dengan segera...” lanjut perawat itu. Aku terdiam sejenak, mencoba mencari segala cara agar dapat membantu sahabatku itu. Sambil berpikir dalam, aku pun mengambil keputusan. Ini satu-satunya kesempatanku memberi arti untuk hidup sesorang...
   
  Ku beri isyarat pada perawat itu, menunjuk dadaku dan tersenyum. “ambillah jantungku.” Sejenak perawat itu terlihat agak kebingungan. Tapi dengan kepastian ku dan tekadku yang kuat, akhirnya ia memberitahukan hal ini pada keluarganya. Ketika ayahnya datang kepadaku sambil mangis, ku beri ia biola kesayangan Violetta. Sebuah surat kecil kuselipkan di balik senar biola. Ku katakan kepada mereka untuk jangan khawatir. “tolong... jangan hentikan ia, biarkan ia bermain biola lagi... aku mohon... sebagai gantinya, aku akan memberikan jantungku kepada anak kalian...”
   
  Mendengar itu, ayahnya terdiam. Tak ada pilihan lain selain menyutujuinya, tetapi setelah itu mereka meminta maaf telah berbuat kasar padaku sebelumnya dan maaf atas perlakuan mereka pada anaknya sendiri. Dengan waktu yang tersisa, aku meminta segera untuk mendonorkan bagian dari diriku untuk sahabatku tersebut. Menolongnya dengan segenap kekuatanku, berkorban deminya. Sekali saja, aku ingin membuat sebuah arti walau itu untuk hidup orang lain.
  
    Dan tidak lebih dari sejam, operasi transplantasi jantung berjalan lancar.

    Ku yakin, sekarang keluarganya menyesal atas perbuatan mereka memaksakan cita-cita pada Violetta. Setelah berbicara kepada mereka, meyakinkan mereka akan kesempurnaan tidaklah penting tetapi kesederhanaan yang membahagiakan. Setelah operasi ini, aku berharap pada sahabatku untuk terus bermain biola dan terus mencari kebahagiaan yang sangat berarti kepadanya. Pada akhirnya, aku bisa memberi sebuah arti kecil kepada seseorang. Jawaban yang kucari sudah ku temukan.  .....Terima Kasih.”
                                                                           ----


Author : Fanny R / Himawari Fa-chan.
[Cerpen ini sebenarnya adalah cerpen untuk lomba bulan bahasa yang di adakan oleh sebuah universitas yang saya buat setahun yang lalu. Tapi karena tidak sempat mengirim naskahnya jadi saya tidak ikut dalam perlombaan tersebut. Yah, sebenarnya sayang banget. Tapi apa boleh buat, sebagai gantinya saya post kan aja di blog saya ini ^^"]

Biola Di Balik Jendela

By : Migi Ruki
Rabu, 21 Januari 2015
0


    Seorang Gadis melihat keatas, menatap harapan panjang yang tergantung diangkasa. Sebuag pesan yang ia harap dapat terkirimkan ke langit, melalui sayap-sayap pesawat kertas. Tak tertulis dan tak pula terucap, tetapi tertuju kepada luasnya harapan diatas. Mungkin ini yang pertama, dan mungkin yang terakhir. Melalui lipatan kertas putih kosong itu,kesedihannya terlukis jelas. Kesepian yang terpancar dimatanya, yang menatap refleksi lautan angkasa luas tak berujung. Senyum kecil terlukis lewat dua bibir merah cherry tipis di wajah. Jari-jari lembut itu tergantung secarik kertas putih di ujungnya, yang terlipat rapi menjadi kapal terbang. Ia angkat tangan setinggi-tingginya, sebatas lengan dapat memanjang. Angin sejuk berhembus pelan, siap mengangkut sang kertas ke alamat tanpa tujuan.
    Perlahan tapi pasti, tangan kanan yang mengayun pelan, dan menjadi kuat ketika ujung pesawat siap melaju. Ini penerbangan tunggal, dngan tibuan harapan di kirim melalui sebuah kertas. Benda putih itu melayang secara abstrak di langit luas, tak tahu kapan ia kan berhenti. Mengira-ngira kapan ia kan jatuh, dan tak bangkit lagi. Tidak, cita-cita tak boleh berhenti diinginkan begitu saja. Ini permulaan. Selagi angin berhembus, tak ada kata berhenti tergambar di pikiran. Gadis itu tahu pasti, meyakinkan diri sendiri keinginan tang terlipat rapi yang sekarang sudah terbang.
    "Melayanglah teman kecil, sampaikan salam dan rinduku pada alam dan junjungan langit."

Story by : MigiRuki / Himawari Fa-chan

Pesawat Kertas

By : Migi Ruki
Senin, 09 Juni 2014
0

      
                              

     
            Lautan refleksi di angkasa, awan-awan putih suci melayang perlahan, dibawah itu berdiri tegak seorang gadis mencari kedamaian. Di atas pemandangan yang indah nan luar biasa, dan gadis yang elok rupawan itu, seolah terhubung. Senyum simpul kecil terlukis di wajah, perasaan yang terkirimkan kepada yang tertuju tanpa alamat, tanpa tujuan, tanpa batas, tak terhentikan. Mentari pagi menyambut sang gadis, dan bumi tempat berpijak. Dua kaki yang menginjak tanah tempat kembali tak tergoyahkan, bagai hatinya. Dua mata biru bak batu safir memandang ke garis lurus horizontal angkasa, tertuju pada putih dan birunya luas langit. Rambut hitam panjang itu menari-nari tertiup angin, dan rok kembang berenda-renda pun ikut mengikuti arus angin.
     “Mungkin hanya ini yang bisa ku sampaikan.” Gadis itu menatap langit, mata birunya menatap awan putih yang melayang. Pandangan sedih terpancar lewat matanya, senyum kecil terlukis di bibir merahnya. Seikhlas mungkin ia keluarkan lewat hatinya. “Kau tau....” ia melanjutkan kembali,  jari telunjuk mengarah ke langit, secara abstrak ia tunjuk ke tempat terjauh di atas refleksi lautan di angkasa. “Disana ada keajaiban”.
     Ia tertawa kecil, “Kau pasti bingung dan bertanya-tanya”. Sambil mengambil nafas panjang,lalu ia hembus dari hidung. Ia membalikkan badannya. “Keajaiban itu adalah tujuh cahaya yang datang setelah hujan reda.” Senyumnya melebar, bahkan semakin lembut. Setetes air mata jatuh. “Jika kita membelakangi matahari, maka tujuh cahaya itu akan terlihat jelas. Walau samar terlihat.” Air mata kembali berjatuhan.
     Tepat setelah kata-kata itu, ‘Keajaiban’ yang ia maksud muncul tepat di belakangnya,walau tempatnya jauh untuk hadir, tapi terlihat dekat. Angin sejuk berhembus, suasana hangat setelah hujan membuat hati dan perasaan damai. Genangan air diberbagai tempat menjadi cermin pandangan. Gaun selutut yang ia kenakan menari-nari tertiup angin, walau sudah mencoba melawan tapi tetap tak dapat terelakkan. “Lihat.” Ia melanjutkan, “Berapa warna yang kau lihat disana?” jarinya menunjuk cahaya warna-warni setengah lingkaran yang jauh, “Tujuh, apa aku salah?” nadanya sedikit berubah, kali ini ia memang bertanya. Ia menyeka air matanya sejenak, tak ingin diganggu sementara dengan perasaan rahasia dihatinya.
      Mata biru bak batu safir itu kembali melihat kejauhan semampu mata memandang,badannya ia balikkan sedikit,kearah cahaya yang berhadapan dengan matahari,dan tepat didepannya,'keajaiban' yang dimaksud seolah berdiri tegap,menyambut senyumnya. "Tujuh warna itu disebut Pelangi." Matanya terbuka lebar,benar-benar puas akan hal yang ia lihat. "bukankah mereka hebat? Warna-warna lembut itu tak bercampur satu sama lain." Jari-jarinya bergerak naik turun,menunjuk langit yang bercahaya warna-warni dikejauhan. "dari atas ke bawah,bukankah mereka menarik? Amarah,bahagia,ketenangan,kesedihan,kepercayaan,kehampaan... Semua ada pada satu cahaya putih." ucapnya lembut dengan nada santai.
       "Kita tak tahu,yang manakah ujungnya,ada apa di ujungnya,seluas apa Pelangi itu. Tapi mereka ada. Mereka sejenak menemani kesendirian." Ia lalu menutup matanya perlahan,seolah mencoba untuk menyelubungi diri dan bersembunyi dari kenyataan. Senyumnya jatuh seketika,begitu pun tetesan air bening hangat yang jatuh ke pipi,hal yang tak dapat ia sampaikan lewat kata-kata hanya bisa ia ucapkan lewat air mata. Perasaan yang tak dapat ia hindarkan lagi akhirnya ia keluarkan. Aura kesedihan terpancar dari beningnya tetesan keluhan kehidupan. Perasaan yang teiris dapat segera diobati dengan tangisan kecil dibalik ujung hati. Rapuh,perasaannya begitu rapuh. Tak ada yang dapat menampung kesedihan dan kehampaannya. Semua itu tak dapat sirna begitu saja. Tak semudah membalik telapak tangan. Senyum juga begitu.
       Rambut hitamnya kembali menari terhembus angin,panjang dan halus,bahkan angin pun dapat melewati ujung-ujung nya. Tangan kanannya ia simpan dibelakang,ujuang jarinya memegang ujung rok yang berenda-renda. Sedangkan tangan kirinya menahan rambut yang terus dihembus angin. Pandangannya kini ia alihkan ke langit utara,tempat dimana jauh dari pelangi dan dekat dengan matahari. Sambil mengira ngira sesuatu,badannya kembali di ia putar. "Hm...sudah jam segini... Aku harus kembali pulang... Pelangi tak bisa menungguku.." sambil menghembuskan nafas dan diam sejenak,tatapannya tertuju kebawah,tempat genangan air merefleksikan bayang-bayang kesedihannya. Senyum simpul Ia keluarkan demi menyamarkan perasaannya,sakit,mungkin tak ada yang dapat mengerti. Langkah demi langkah,kakinya terus menyusuri anak tangga menuju kebawah. Sesekali,ia memutar badan dan melihat ke arah tujuh cahaya itu,memastikan kalau 'Keajaiban' itu belum hilang sepenuhnya.
       Semua ada proses,maka setiap 10 anak tangga ia lalui,pandangannya kembali melihat belakang. Tak ingin melewatkan satu cahaya pun dan kembali memastikan. Senyum yang menempel belum hilang,namun air mata yang kan mengalir pelan akan memulai merapuhkan perasaannya lagi. "Matahari terbenam... Kini apakah aku akan menyaksikan perpisahan? Dibalik bayang-bayang oren keemasan itu?" ia bertanya pada dirinya.
      Tidak,ini belum berakhir! Hati kecilnya berteriak ketakutan. Semua akan kembali terjadi seperti di awal! Hati yang lain ikut menentang. Mengambil nafas panjang dan dalam,lalu dihembuskan. Ketenangan sejenak memulihkan. Kini ia bisa berpikir jernih kembali. "Bukankah begitu?" Tak sadar sudah berapa langkah ia tapaki,akhirnya ia tersadar dan melihat kebelakang. Cahaya putih yang berkumpul dan membentuk berbagai cerminan warna emosi itu,kini hilang dihadapan mata biru laut sang gadis. Tercengang dan tak dapat mengeluarkan kata-kata,mulutnya hanya bisa menganga,tak ingat bahwa segalanya kan musnah. Hilang bagai hujan yang reda,dan perasaan yang tercabik kecil,semua telah diatur yang Maha kuasa. "Sirna sudah... Menghilang dan tertelan mentari malam yang kan datang..." Kepalanya tertunduk,melihat kumpulan air hujan bercampur air mata yang menetes."Tidak.... Ini belum berakhir. Ini masih awal. Ini hanya permulaan.... Ya,kan?" nada suaranya pecah.
     Setetes demi setetes,air mata langit pun turun. Refleksi lautan biru berubah menjadi gelap keabuan,seolah menunjukkan emosi suram. Menyadari hal itu,ia mengangkat kepalanya,melihat ke langit. Tak sadar hujan telah turun,ia segera berlari kembali dengan cepat menuju bawah "Cepat,aku harus pulang!" ia teriak dengan suara kecil untuk menyemangati dirinya sendiri. Langkah pun ia percepat,tetapi lebih lambat dari tetesan hujan yang turun. Kedua tangannya melindungi kepala,tetapi tetap tak dapat menghindari basah akibat air yang jatuh. Ia berlari semakin kencang,sambil melihat sekeliling untuk mencari tempat berteduh dari hujan. Jalanan sepi,desa kecil itu bagai tak berhuni. Sepi bukan berarti tak ada orang. Hanya beberapa keluarga saja yang masih menetap di desa terindah bagi gadis itu. Mungkin ia sendiri saja. Menaiki tanjakan,akhirnya ia temukan sebuah gubuk kecil untuk berteduh. "Untung saja." ia mengeluarkan nafas lega. Basah dan dingin,ia mengigil dengan rambut yang kuncup. Baju seragam dan tubuhnya basah,tak terlindungi dari hujan. Dengan tatapan sedih,ia memandang genangan air yang merefleksikan dirinya. "Hujan...bukankah itu berarti pelangi kan kembali muncul?" seketika ia semangat. "bukankah itu hebat?" "Keajaiban itu kembali datang dua kali hari ini. Itu pertanda semangat!" ia mengepal kedua tangannya dan melemparkan semangatnya di udara. "Bukankah hari ini indah?" senyum kecil dibalik tubuh yang menggigil terlukis jelas. Ia berdiri tegap di dekat gubuk tua itu sambil menunggu. Jika ia membawa jam,mungkin ia tahu kapan hujan kan segera berhenti. Hanya saja hari ini kurang beruntung,jadi yang ia hanya bisa menunggu.
      Rintikan hujan yang lama-kelamaan berhenti,sambil menunggu dengan sabar,ia mendengar ketenangan dibalik suara tangisan langit. Tetesan-tetesan bening itu perlahan berhenti,tapi tetap tak tahu kapan pasti. "Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi!" Dan dengan cepat Ia langsung melangkah pergi dari gubuk itu,tak dapat menahan langkahnya pergi. Genangan air di jalanan merefleksikan perasaan tak sabarnya. Gadis yang mencintai pelangi dibanding apapun, menganggap keajaiban yang diperlihatkan Yang Maha Kuasa kepadanya sebagai suatu penghargaan. Tujuh cahaya yang dibiaskan diatas lautan biru di angkasa itu menjadi kekasihnya dikala sendiri, mungkin setiap saat. "Ini dia!" Ia bersorak dengan riang gembira,dengan perasaan tak sabar di hatinya,bahkan senyum lebar dan cerah itu tergambar di wajahnya. "Sekali lagi!" Ia berseru dengan ceria, berbeda dari seruannya pada keajaiban pertama. Tak peduli ia akan tergelincir karena licinnya jalanan,ia tetap melangkah maju Ia mulai berjalan naik,perlahan tapi pasti,menaiki anak tangga menuju bukit teratas. Rintikan hujan berhenti seketika ketika ia semakin naik dan semakin dekat dengan apa yang ia tuju. "Ayo kita lihat bersama!" Suara lembut yang keluar dengan hatinya membuat suasana tenang. Kali ini ia melangkah pasti,menuju cahaya putih bias yang menjadi teman hidupnya sejak kecil,dengan hati yang berbeda. "Tunggu aku!"
       Kaki itu lebih dulu sampai diatas bukit. Dengan air hujan yang telah berhenti, ia menatap ketempat yang sama dimana 'keajaiban' itu berada. Pandangan yang menatap lurus kedepan tak berkedip,menantikan harapan munculnya tujuh cahaya itu lagi."dimana? Dimana mereka?!" ia mulai panik,dan mata mulai ingin meneteskan air mata lagi. Apa ia kurang beruntung kali ini? Mungkin,tapi keajaiban tak ada yang bisa menebak. Langit belum tersenyum padanya,langit masih ingin menangis lagi. Emosi meluap di dada, tak dapat di ungkapkan. Bersamaan itu,suara keras menggelegar diudara.Cahaya api emas dengan cepat menyambar dengan kecepatan tertentu,dan suara keras bagai amarah yang keluar.Petir,itu dia.
      Gadis itu menutup telinganya,suara tajam yang ia benci tak ingin didengar."benci...aku benci kilat..." ucapnya merintih ngeri. "apakah setelah langkah ke sepuluh,keajaiban itu kembali lain waktu?" ia mengira-ngira,tapi bersamaan dengan itu,petir kembali menyambar. Dekat,cahaya api itu dekat sekali. Jika ia tak mengelak,mungkin kakinya akan hangus terbakar. Ketika menghindar kilat yang menyambar ke arah dirinya,ia kembali terjatuh. Ditambah anak tangga yang berada dibelakangnya,ia terpeleset dan jatuh. Luka,kaki yang terkena luka bakar dan goresan-goresan kecil yang banyak,serta memar dan darah dimana-mana,itu tak dapat menyakitinya. Kehilangan keseimbangan dan tak dapat berdiri,tangannya bahkan tak dapat membantunya berdiri. "kenapa....ini....begitu sakit?" tangisnya sedih. Suara merdu itu kembali pecah.
      Dengan pandangan yang mulai kabur,dan tatapan yang secara abstrak melihat ke angkasa luas,perlahan memudar,tapi hal terakhir yang ia ingat adalah kilatan api yang menyambar cepat dari udara. "Kebahagiaan.... Akankah sirna?" tanya nya dalam hati,yang perlahan mulai menghilang. Sesuatu terjadi begitu saja,sekejab dan menghilang. Secepat kilat menyambar,dan seindah pelangi bercahaya. Turun dari lautan angkasa. Jagad raya yang luas ini tak akan pernah berhenti membuat kita terpukau. Keindahan yang patut kita syukuri harus kita hargai. Seberapa menakutkannya itu,seberapa indahnya itu,seberapa luar biasanya itu,apapun itu. Gadis itu tak sendirian,sahabat sekaligus kekasih yang selalu menemaninya dikala sepi,seolah mengerti kesendiriannya. Bias cahaya setelah langit menangis,senja keemasan di kala matahari terbenam, Taburan ribuan cahaya harapan ditemani matahari malam yang redup,semua, adalah kebahagiaan baginya.Mungkin bukan berupa makhluk,itu tak apa.
       Seolah hanya mereka yang mengerti perasaannya,seolah hanya mereka yang mengerti pemikirannya,seolah hanya mereka yang mengerti keadaanya. Dan itu mungkin,adalah kehidupan pribadi gadis itu,yang tengah terbaring lemah di atas tanah dengan lumuran darah dimana-mana. Petir pun berhenti menyambar,dan perlahan lenyap. Waktu berganti,tapi kelemahan kekuataannya untuk sadar belum juga memberi tanda apapun padanya. Dan detik terus berputar kearah yang sama,tapi tak mengulang peristiwa yang serupa. Dan tangisan langit mereda,kini cahaya putih keluar. Perlahan ia bangun,dengan mata yang masih sukar terbuka. "apa yang terjadi padaku?" tanya nya lemah dengan suara bergetar. Tubuhnya kaku.
      Satu per satu anggota tubuh ia gerak,mencoba bangkit dari genangan darah ditanah. "aku bisa."ucapnya mencoba menyemangati diri sendiri. Gaun indah dan rambut hitam mengkilap itu kini basah dan kotor,ternodai lumpur,air hujan,dan darahnya sendiri. Ribuan luka fisik dan jiwa ikut membebani,mencoba kembali melemahkannya. Tak seorang pun dapat menolongnya,tak seorang pun yang dapat membantunya. Tak ada siapa-siapa. Ia mengangkat kepalanya keatas,mencari sesuatu yang mungkin dapat menjadi harapan."eh,kemana perginya cahaya itu?" ia melirik sekitar. "Inikah akhir?" kepalanya tertunduk sedih."inikah isi cerita hidupku?" pertanyaan itu terus terlontar lewat bibir merah cherry nya. Tak peduli dengan luka-luka disekujur tubuhnya,ia pun menangis. "kenapa aku harus menjalani ini?" seluruh semangatnya hilang total. "tidak,aku tak ingin itu terjadi!" "sabar,apakah aku harus terus bersabar? Apa aku harus menjalaninya? Apakah aku dapat menemui harapan dan keajaiban itu kembali? Jawab aku!"ia menggelengkan kepalanya,tak menerima semua keadaan yang telah terjadi."tidak mau!" Suara keras berteriak di udara, seolah sampai ke atas langit. Tapi tetap tak ada yang menjawabnya. "kenapa begitu sulit? Begitu sakit."


Story by : MigiRuki / Himawari Fa-Chan

Keajaiban Itu Disebut Pelangi

By : Migi Ruki
Sabtu, 10 Mei 2014
0
Post ke dua XDD Yahh,hari ini sedih sih karena gak ada yang ingat hari ultahku QwQ Huwee ;3; Teman2ku berhati beku >.< biarlah,aku juga tdk peduli dg mereka -w- Terimakasih~ _Blue Himawari_

First colour of my feeling

By : Migi Ruki
Kamis, 14 Juni 2012
0
nah,tadaa owo blog percobaan XDD ke dua!! #jrengjreng (?)

satu kata pertama (?)

By : Migi Ruki
Sabtu, 09 Juni 2012
0

- Copyright © 2013 Rainbow Planet - Gumi - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -